Industri anggur dan wine di Eropa, pernah mengalami masa-masa sulit pada paruh kedua abad ke-19. Pepatah "hal-hal buruk datang bertiga" sangat tepat menggambarkan rentetan masalah yang dihadapi para produsen anggur selama periode ini. Tiga wabah utama—powdery mildew, filoksera, dan downy mildew—menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan produksi anggur dan wine.
1. Powdery Mildew: Awal dari Bencana
Pada tahun 1840-an, penyakit powdery mildew mulai muncul di Eropa. Sebelumnya, penyakit ini hanya dikenal di Amerika. Penyakit ini menyebabkan daun anggur muda ditutupi bintik-bintik putih seperti bubuk yang kemudian menyebar ke seluruh daun dan buah anggur. Akibatnya, buah anggur menjadi abu-abu, layu, dan retak, membuatnya tidak layak untuk diproduksi menjadi wine. Penyakit yang disebabkan oleh jamur Uncinula necator ini merusak industri wine Prancis hingga produksi menurun drastis, mencapai 80% pada tahun 1854. Penemuan bahwa campuran kapur dan belerang bisa mengendalikan penyakit ini membawa harapan baru, meskipun dampaknya telah dirasakan secara luas.
2. Filoksera: Serangan yang Lebih Menghancurkan
Namun, ancaman yang lebih besar segera datang. Pada awal 1860-an, industri anggur menghadapi wabah kedua, yaitu filoksera serangga yang menyerang akar dan daun tanaman anggur. Kutu daun ini, yang dibawa dari Amerika Serikat melalui bibit anggur yang diimpor, menyebabkan tanaman mati secara massal. Hampir 40% kebun anggur di Prancis hancur akibat serangan ini. Solusi akhirnya ditemukan melalui praktik grafting, yaitu menggabungkan batang bawah anggur Amerika yang tahan filoksera dengan batang atas anggur Eropa. Meskipun solusi ini berhasil, pemulihan industri berlangsung lambat karena waktu yang diperlukan untuk menanam kembali kebun anggur.
3. Downy Mildew: Tantangan Terakhir yang Menyulitkan
Ketika industri anggur mulai pulih, bencana ketiga menghantam pada tahun 1878. Kali ini, penyakit downy mildew atau embun bulu, yang disebabkan oleh jamur Plasmopara viticola, mulai menyebar. Penyakit ini menyebabkan daun anggur menguning, mati, dan rontok. Serangan ini juga mengurangi hasil dan kualitas buah anggur, terutama di cuaca dingin dan lembab. Para produsen anggur kembali panik, hingga akhirnya Profesor Pierre Alexis Millardet menemukan bahwa campuran sulfat tembaga dan kapur, yang awalnya digunakan untuk menakut-nakuti pencuri, efektif dalam mengendalikan embun bulu. Campuran ini, yang dikenal sebagai larutan Bordeaux, menjadi pionir dalam pengendalian penyakit tanaman dengan fungisida, dan digunakan di seluruh dunia selama lebih dari satu abad.
Pelajaran dari Sejarah: Inovasi dan Ketangguhan
Kisah ini menunjukkan betapa rentannya industri pertanian terhadap serangan penyakit. Namun, melalui inovasi dan ketekunan, solusi-solusi yang efektif dapat ditemukan. Sejarah ini mengingatkan kita akan pentingnya riset berkelanjutan dan adaptasi dalam menghadapi tantangan pertanian di masa depan.